TUGAS 4
JURNAL ETIKA BISNIS


MORALITAS KORUPTOR
Dugaan Korupsi Pengadaan Bus Transjakarta
  



Novi Fadilah Sari
15211223 / 4EA17


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014



ABSTRAK


Novi Fadilah Sari.15211223
DUGAAN KORUPSI PENGADAAN BUS TRANSJAKARTA
Jurnal. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata Kunci : Moralitas, Korupsi

Pada hakekatnya, korupsi merupakan benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sudah sangat banyak salah satunya kasus “Dugaan Korupsi Pengadaan Bus Transjakarta”. Indonesia banyak memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelarangan tindak korupsi, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak di tegakkan dan dijalankan secara optimal. Lemah dan rendahnya tingkat keimanan (religius), menipisnya etika dan moral seseorang yang menjadikan faktor menyebabkan seseorang mudah tergiur dengan uang, harta, kekayaan, sehingga mereka tidak bisa membentengi diri mereka dari godaan-godaan yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan korupsi.

Daftar Pustaka (2008 - 2014)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya, korupsi merupakan benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini dapat merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.

Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.

Setiap hari kita membaca dan mendengar saran-saran mengenai hal-hal moral bangsa indonesia, yang sangat sering dikatakan merusak moral bangsa kita salah satunya adalah korupsi. Seorang anak belajar moral bukan dari yang kita ajarkan tetapi dari yang kita lakukan. Jika diri kita sendiri tidak jujur atau menghormati koruptor, maka tidak ada gunanya jika kita bilang jangan ‘mencuri’. Yang merusak moral bangsa kita adalah contoh-contoh buruk yang kita saksikan setiap hari. Misalnya koruptor yang mencuri puluhan milyar Rupiah terus dilepaskan, tetapi orang yang mencuri Rp.500.000 karena lapar langsung dipukuli dan dimasukkan kedalam penjara. Hal Ini sangatlah tidak mendidik para generasi penerus bangsa. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis akan membahas mengenai moralitas koruptor dalam kasus “Dugaan Korupsi Pengadaan Bus Transjakarta”.

1.2  Rumusan Masalah dan Batasan Masalah

1.2.1  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
Apa yang menyebabkan seorang pejabat melakukan korupsi?
Bagaimana cara mengatasi masalah korupsi?

1.2.2 Batasan Masalah

Dalam penulisan ini, penulis akan membatasi masalah hanya mencakup pada penyebab pejabat melakukan korupsi dan cara mengatasinya.

1.3  Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui apa yang menyebabkan seorang pejabat melakukan korupsi dan cara mengatasi masalah tersebut.

1.4  Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan tentang moralitas koruptor.

2. Bagi Pembaca
Dapat menjadi bahan tambahan informasi dan referensi khususnya mengenai moralitas
koruptor.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Kerangka Teori

2.1.1  Moralitas

Menurut Sumaryono (2008: 51) Moralitas adalah kualitas yang terkandung di dalam perbuatan manusia yang dengannya kita dapat menilai perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat.

Sumaryono (2008: 51) juga mengatakan, moralitas dapat bersifat objektif ataupun subjektif. Moralitas objektif adalah moralitas yang diterapkan pada perbuatan sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak pelakunya. Sedangkan moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan ditinjau dari kondisi pengetahuan dan pusat perhatian pelakunya, latar belakangnya, training, stabilitas emosional, serta perilaku personal lainnya. Moralitas subjektif ini merupakan fakta pengalaman bahwa kesadaran manusia (suara hatinya) menyetujui atau melarang apa yang diperbuat manusia.

John Dewey dan James H. Tufts (1932: 66) dalam Sumaryono (2008: 52) menuturkan, moralitas hanya dapat dicapai secara penuh bila manusia sebagai pelaku moral memahami dengan baik mana perbuatannya yang baik dan benar atas dasar kebebasan, pengabdian diri demi cita-cita moral, serta upaya perkembangan sosial yang melibatkan setiap anggota masyarakat.

2.1.2 Korupsi

Menurut Wijayanto (2009: 6) Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2.1.3 Grand Corruption And Petty Corupption

Dalam Wijayanto (2009 :17) terdapat ratusan bahkan ribuan jenis tindakan yang daat dikategorikan sebagai korupsi. Tindakan-tindakan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
  • Grand Corruption (Korupsi Besar) adalah korupsi yang dilakukan oleh penjabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar diberbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi ini menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maun nonfinasial.
  • Petty Corruption (Korupsi Kecil) adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai.


2.1.4 Koruptor

Berdasarkan penuturan Denny Indrayana (2008: 9) Koruptor lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, seperti halnya biaya hidup-mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Maka dalam konteks itulah koruptor adalah the real terrorist. Perang melawan korupsi adalah perang melawan mafia koruptor yang amat solid disemua lini. Upaya untuk memerangi sekaligus memberantas korupsi tidak akan berjalan efektif apabila tidak ada itikad baik (political will) dari aparat penegak hukum untuk menjerat para koruptor dengan jeratan hukum yang maksimal.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini dihadapkan kepada pejabat yang melakukan korupsi.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Data ini diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder diperoleh dari berbagai bahan pustaka baik berupa buku, laporan, jurnal, dan dokumen lainnya berhubungan dengan materi kajian yaitu moralitas koruptor.

3.3 Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka, dengan membaca buku  dan catatan lain yang relevan dan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan ini.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Contoh Kasus

Berdasarkan kutipan berita Suaramedia.com hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) niai kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan bus Tranjakarta Rp 54.389.065.200. Dalam kasus tersebut jaksa penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka. Tiga tersangka berasal dari pihak swasta dan empat tersangka lain yang merupakan pejabat di Pemprov DKI Jakarta.

Kapuspenkum Kejagung, Tony F Spontana mengatakan tiga tersangka merupakan rekanan penyedia barang dalam pengadaan bus Transjakarta. Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik memperoleh keterangan dari 60 saksi termasuk keterangan ahli. Mereka adalah Budi Susanto, Direktur Utama PT New Armada (PT Mobilindo Armada Cemerlang), Agus Sudiarso Direktur PT Ifani Dewi dan Chen Chong Kyeon Direktur Utama PT Korindo Motors.

Adapun empat tersangka lain yakni Udar Pristono, mantan kepala Dishub Provinsi DKI Jakarta, Direktur Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi BPPT yaitu Prawoto. Kemudian Drajat Adhyaksa, pejabat pembuat komitmen pengadaan bus peremajaan angkutan umum reguler dan kegiatan pengadaan armada bus transjakarta. Serta Ketua Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi 1 Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Setyo Tuhu.

Sementara itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipi-kor) Jakarta, 27 Oktober 2014 menggelar sidang perdana kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan bus transjakarta pada 2013 dengan terdakwa Drajat Adhyaksa, yang merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) dan kuasa pembuat komitmen peremajaan angkutan umum reguler dan kegiatan pengadaan armada bus transjakarta periode 2013.

4.2 Penyebab Terjadinya Korupsi

Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik kementerian, anggota DPR/ DPRD, direktur/ komisaris perusahaan swasta, pegawai pemerintah daerah (pemda), kepala dinas, kepala daerah, maupun pegawai  negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sudah sangat banyak salah satunya kasus “Dugaan Korupsi Pengadaan Bus Transjakarta”. Bahkan sebagian ilmu sosial sudah menyatakan bahwa korupsi itu sudah mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia. Tentunya hal itu akan bertentangan dengan konsep bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur seperti yang terkandung di Pancasila, ataupun seperti yang telah diajarkan oleh agama-agama yang berkembang di Indonesia.

Korupsi bukan lagi suatu pelanggaran hukum, di negara kita korupsi sudah menjadi suatu kebiasan. Hal ini karena korupsi di Indonesia berkembang dan tumbuh subur terutama di kalangan para pejabat dari tingkat tertinggi para pejabat negara sampai ke tingkat RT yang paling rendah. Perkembangan yang cukup subur ini berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya penyakit ini telah menjangkit sebagian generasi yang kemudian diturunkan ke generasi berikutnya, sehingga tidak heran jika negara Indonesia termasuk salah satu negara korupsi terbesar di dunia. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk memutuskan rantai generasi korupsi adalah dengan menjaga kebersihan generasi muda dari jangkitan virus korupsi. Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah merupakan bukti nyata betapa rendahnya moralitas para pejabat pemerintahan negara kita. Hal yang menjadi penyebab utama masalah korupsi ini. Pertama, mental aparat koruptor yang kecil. Menurut www.transparansi.or.id terdapat banyak karakter tidak baik yang menghinggapi para koruptor. Di antaranya sifat tamak, sebagian besar para koruptor adalah orang yang sudah cukup kaya. Namun, karena ketamakannya mereka masih berhasrat besar untuk memperkaya diri. Sifat tamak ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang kuat dan gaya hidup yang konsumtif. Ujungnya, aparat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya iman di dalam dirinya (koruptor). Jika mereka telah memahami betul perbuatan korupsi itu haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi setiap individu untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum agama. Kedua, kerusakan sistem politik, hukum dan pemerintahannya. Kerusakan sistem inilah yang memberikan banyak peluang kepada aparatur Pemerintah maupun rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Peraturan perundang-undangan korupsi yang ada justru diindikasi ‘mempermudah’ (jika ada pejabat negara setingkat bupati dan anggota DPR/ DPRD tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden) timbulnya korupsi karena hanya menguntungkan kroni penguasa; kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undang.

4.3 Mengatasi Masalah Korupsi

Di berbagai media massa baik media elektronik maupun media cetak, lebih banyak memberitakan mengenai tindakan korupsi di kalangan pejabat. Seperti halnya kasus “Dugaan Korupsi Pengadaan Bus Transjakarta”. Untuk mengatasi masalah tersebut ada beberapa cara yang dapat ditempuh yaitu:
  1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh. Kesadaran rakyat dalam memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani yang dianggap paling baik dan tidak menerima suap merupakan salah satu langkah untuk menghindari adanya kasus korupsi.
  2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional. Penanaman nasionalisme sejak dini pada generasi penerus bangsa juga sangat diperlukan agar mereka mencintai bangsa dan negara indonesia diatas kepentingannya sendiri sehingga kelak jika menjadi pemimpin ia akan menjadi sesosok pemimpin yang memikirkan bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadinya.
  3. Para pemimpin ataupun pejabat memberikan keteladanan, memberantas dan menindak korupsi. Para pemimpin saat ini haruslah menjadi teladan yang baik bagi generasi penerus bangsa, yaitu menjadi sosok pemimpin yang jujur, adil, dan anti korupsi, serta berupaya keras dalam membongkar dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku korupsi, bukan malah sebaliknya.
  4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi. Sanksi yang tegas dan tidak memihak memang sangat diperlukan dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Para pelaku korupsi harus dijatuhi hukuman setimpal yang dirasa dapat memberikan efek jera dan takut baik bagi pelaku maupun orang lain yang akan melakukan tindakan korupsi.
  5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan dana rakyat yang seharusnya dapat digunakan seefisien mungkin. Serta untuk membentuk sistem baru yang terorganisir dengan adil dan jauh dari korupsi.
  6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”. 
  7. Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Itu sulit berjalan dengan baik, bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarganya. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka wajib diberikan gaji dan tunjangan yang layak. Karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
  8. Sistem budget harus dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, bersama dengan sistem kontrol yang efisien.
  9. Perhitungan kekayaan. Cara ini sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tetapi cara tersebut ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal.
  10. Larangan menerima suap dan hadiah. Suap dan hadiah yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
  11. Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan.
  12. Pentingnya ajaran agama. Kasus korupsi seperti ini sebenarnya tidak akan terjadi apabila semua pemimpin atau birokrasi pemerintahan mempunyai landasan agama yang kuat. Dalam semua ajaran agama pastinya melarang perbuatan korupsi. Korupsi sama saja dengan mencuri, mencuri uang rakyat dan menyengsarakan mereka. Jika seseorang memiliki landasan agama yang kuat, mereka pasti tahu dan akan takut melakukan perbuatan korupsi sehingga secara otomatis mereka akan menjauhi perilaku ini dengan sendirinya tanpa perlu adanya paksaan dan pengawasan khusus.
  13. Pentingnya peran pendidikan. Peran pendidikan dapat membantu meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas korupsi. Pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkatan produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke dalam hal yang positif melalui pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.       



BAB V
PENUTUP

5.1  Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah di uraikan pada bab sebelumnya mengenai penjabat yang melakukan korupsi dalam kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Bus Transjakarta, maka dapat diambil kesimpulan yaitu:

1. Tindak korupsi terjadi akibat rendahnya moralitas para pejabat. Di antaranya sifat tamak, tidak adanya iman di dalam dirinya (koruptor), kerusakan sistem politik, hukum dan pemerintahannya.

2. Masalah korupsi tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara, antara lain:
  • Adanya kesadaran masyarakat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh.
  • Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
  • Para pemimpin ataupun pejabat memberikan keteladanan, memberantas dan menindak korupsi.
  • Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
  • Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah.
  • Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”. 
  • Penetapan sistem penggajian yang layak.
  • Sistem budget harus dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, bersama dengan sistem kontrol yang efisien.
  • Perhitungan kekayaan.
  • Larangan menerima suap dan hadiah.
  • Pengawasan masyarakat.
  • Pentingnya ajaran agama.
  • Pentingnya peran pendidikan


5.1  Saran

Dengan melihat beberapa kondisi di atas maka memang sudah sewajarnya perilaku korupsi itu mudah timbul, berkembang dan tumbuh pesat di Indonesia. Penyebab utama dari tindakan korupsi tersebut dikarenakan lemahnya penegak hukum di Indonesia. Indonesia banyak memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelarangan tindak korupsi, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak di tegakkan dan dijalankan secara optimal. Lemah dan rendahnya tingkat keimanan (religius), menipisnya etika dan moral seseorang yang menjadikan faktor menyebabkan seseorang mudah tergiur dengan uang, harta, kekayaan, sehingga mereka tidak bisa membentengi diri mereka dari godaan-godaan yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan korupsi.

Untuk itu perlu kesadaran pada masing-masing diri sendiri untuk tidak melakukan tindakan korupsi sehingga menjadikan diri kita sebagai seorang koruptor. Sebagai warga negara Indonesia, generasi muda, penerus perjuangan bangsa, kita harus ikut andil paling tidak dapat menekan jumlah tindakan korupsi di Indonesia. Di mulai dari hal yang terkecil, yaitu disiplin dan jujur dalam segala hal. Contoh kecilnya, kita sebagai seorang mahasiswa harus disiplin dalam mengikuti mata kuliah, disiplin dalam mengerjakan tugas, serta jujur dalam mengerjakan ujian. Apabila dalam hal disiplin yang terkecil itu saja kita tidak bisa menerapkan dalam diri kita sebagai seorang mahasiswa, maka itu sama saja kita telah melatih diri kita untuk menjadi seorang koruptor.


DAFTAR PUSTAKA


Denny Indrayana. 2008. Negeri Para Mafioso: Hukum di Sarang Koruptor.   Penerbit PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.
E. Sumaryono. 2008. Etika Profesi Hukum. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Wijayanto. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka       Utama. Jakarta.
www.suaramerdeka.com diakses tanggal 30 Desember 2014.
www.suaralsmonline.com diakses tanggal 30 Desember 2014.



.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TUGAS 3 
JURNAL ETIKA BISNIS


IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA
Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengadilan



Novi Fadilah Sari
15211223 / 4EA17


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014



ABSTRAK

Novi Fadilah Sari.15211223
KASUS IKLAN NISSAN MARCH MASUK PENGADILAN
Jurnal. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata Kunci : Iklan, Etika, Estetika

Periklanan sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bisnis modern saat ini. Iklan sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acap-kali merasa tertipu oleh iklan. Pelanggaran etika yang mengarah pada ketidaknyataan pada produk dengan menipu konsumen merusak nilai dari sebuah iklan serta produk itu sendiri. Para pembuat iklan harus memperhatikan Undang-Undang tentang konsumen, menyangkut iklan dan promosi. Tidak hanya melindungi produk iklan dari kesalahan hukum serta kode etik, tetapi juga diharapkan adanya keterbukaan antara produsen kepada konsumen sehingga mereka akan bisa saling nyaman satu sama lain.

Daftar Pustaka (2008 – 2014)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Periklanan sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bisnis modern saat ini. Iklan sudah berkembang menjadi suatu sistem komunikasi yang sangat penting tidak saja bagi produsen produk dan jasa tetapi juga bagi konsumen. Kemampuan iklan dan metode promosi lainnya dalam menyampaikan pesan kepada konsumen menjadikan kedua bidang tersebut memegang peran sangat penting bagi keberhasilan perusahaan dalam memasarkan produk dan jasanya. Berbagai bentuk usaha, mulai dari usaha eceran, hingga perusahaan multinasional mengandalkan iklan dan promosi untuk menjunjung pemasaran produk dan jasa mereka kepada masyarakat. Pada sistem ekonomi yang berlandaskan pada pasar, konsumen semakin mengandalkan iklan dan bentuk promosi lainnya untuk mendapatkan informasi yang akan mereka gunakan untuk membuat suatu keputusan, apakah akan membeli suatu produk dan jasa atau tidak. Dalam pekembangannya, periklanan menimbulkan bebagai masalah berbeda, terutama dalam konteks sosio kultural, yaitu iklan-iklan yang setiap hari secara massal dan intensif dicurahkan diatas masyarakat melalui berbagai media komunikasi yang pada umumnya tidak mendidik, tetapi sebaliknya justru menyebarluaskan selera rendah. Tak lepas dari masalah tersebut, persaingan akan produk  telah memunculkan perang iklan untuk produk-produk sejenis. Banyak dari iklan produk serupa cenderung untuk menjatuhkan lawan produk melalui iklannya daripada mengiklankan keunggulan produknya. Perang iklan yang semakin agresif dan berbala-balasan ini menyebabkan keetisan dan aturan main yang baik dilupakan, seolah itu adalah hal kuno dan tak kompeten untuk dilakukan dewasa ini.

Hal diatas  menjelaskan betapa penting  adanya iklan di perkembangan zaman sekarang ini. Iklan mulai berkembang dari bentuk orasi menjadi bentuk media elektronik yang saat ini dapat kita lihat. Produk tiap perusahaan berlomba-lomba untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas, melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang, berdasarkan  usia, golongan, suku, dan lain sebagainya . Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis akan membahas mengenai “Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengadilan”

1.2  Rumusan Masalah dan Batasan Masalah

1.2.1  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah dalam penulisan ini adalah apakah iklan Nissan March melanggar etika dan estetika periklanan?

1.2.2        Batasan Masalah

Dalam penulisan ini, penulis akan membatasi masalah hanya mencakup pada kasus iklan Nissan March.

1.3  Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah iklan Nissan March melanggar etika dan estika periklanan.

1.4  Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1.      Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan tentang bentuk iklan dalam etika dan estetika.

2.      Bagi Pembaca
Dapat menjadi bahan tambahan informasi dan referensi khususnya mengenai iklan dalam etika dan estetika.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Kerangka Teori

2.1.1  Pengertian Iklan

Menurut Fandy Tjiptono (2008: 521) dalam pengembangan program periklanan, langkah pertamanya adalah mengindentifikasi pasar sasaran dan motif pembeli. Setelah itu ditetapkan lima keputusan pokok yang terdiri atas:
  • Mission, yaitu menyangkut sasaran penjualan dan tujuan periklanan
  • Money, yaitu besarnya anggaran iklan yang ditetapkan
  • Message, yaitu perancangan, pengevaluasian, pemilihan, dan pengeksekusian pesan yang disampaikan kepada audiens sasaran.
  • Media, yaitu keputusan mengenai pemilihan media periklanan yang akan digunakan.
  • Measurement, yaitu mengukur dampak komunikasi dan dampak penjualan.


Sedangkan menurut Teguh Budiarto (2011: 134) periklanan adalah bentuk-bentuk komunikasi atau presentasi non pribadi produk atau perusahaan yang dikendalikan oleh produsen untuk berkomunikasi dengan pelanggan. Media periklanan dapat berupa:
  • Media cetak (printed matters). Contohnya koran, majalah, iklan pos, katalog, tiket.
  • Media elektronik. Contohnya radio, komputer, telepon, handphone.
  • Pajangan diluar (outdoor). Contohnya poster, pamflet, papan nama, spanduk, papan reklame.


Jenis pesan atas dasar pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi, berdasarkan Teguh
Budiarto (2011: 134) periklanan dapat dibedakan dengan :
  • Periklanan lembaga atau institusi (misal Bank, Biro Jasa, Supermarket, Departement Store)
  • Periklanan merk (misal Pepsodent, Toyota, Cerebrovit)
  • Periklanan jenis barang tertentu (misal iklan pelayanan masyarakat)
  • Periklanan penjualan (terdapat pada kesempatan-kesempatan tertentu)

2.1.2 Fungsi Iklan

Sonny Keraf (2008) membagi fungsi iklan dalam dua hal yaitu :
  1. Iklan sebagai pemberi informasi. Iklan sebagai pemberi informasi artinya iklan adalah media yang menjembatani antara produsen dan konsumen. Selain itu, bagi konsumen iklan adalah cara untuk membangun citra atau kepercayaan terhadap dirinya.
  2. Iklan sebagai pembentuk pendapat umum. Iklan sebagai pembentuk pendapat umum dipakai oleh propagandis sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik.

Fungsi yang pertama dan kedua memiliki cara kerja yang kuat secara psikologis bagi calon konsumen. Jika sudah terbentuk dalam pola pikir yang melekat, maka itu akan membahayakan konsumen yang hanya tertarik pada alat-alat promosi.

2.1.3 Makna Etika dan Estetika dalam Periklanan

Menurut Fredy Purnama (dalam www.academia.edu) Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan di mata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relevan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan. Ciri-ciri iklan yang baik:
  • Etis : berkaitan dengan kepantasan.
  • Estetis : berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan).
  • Artistik : bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini dihadapkan kepada PT Nissan Motor Indonesia.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Data ini diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder diperoleh dari berbagai bahan pustaka baik berupa buku, laporan, jurnal, dan dokumen lainnya berhubungan dengan materi kajian yaitu iklan dalam etika dan estetika.

3.3 Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka, dengan membaca buku  dan catatan lain yang relevan dan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan ini.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kasus

Iklan sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acap-kali merasa tertipu iklan.

Ludmilla Arief termasuk seorang konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ dalam iklan telah menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun 2011, ia membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Sebulan menggunakan moda transportasi itu, ia merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan. Malah sebaliknya boros bahan bakar. Karena penasaran, ia pun mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.

Setelah satu bulan pemakaian, ia menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilaluinya adalah Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim. Berdasarkan iklan yang di pampang di media online Detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Ludmilla Arief berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. Menurut penuturannya di iklan tersebut ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi.

Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan dari konsumennya tersebut. Ludmilla Arief hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, ia pun meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi.

Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Ludmilla Arief meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Dan Akhirnya Perjuangannya berhasil berdasarkan putusan BPSK yang menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf  K dan Pasal 10 huruf C Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi dengan mengembalikan uang pembelian Rp150 juta. Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta. Sebaliknya, kuasa hukum Ludmilla Arief,  berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Menurut penuturan kuasa hukumnya, kliennya kecewa pada iklan produsen yang tak sesuai kenyataan. Menurut kuasa hukumnya, tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu, tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Sehingga dapat dikatakan ada unsur manipulasi. Kuasa hukum NMI, menepis tudingan kuasa hukum Ludmilla Arief. Menurut kuasa hukum NMI, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.

4.1 Hasil Analisis Kasus

Letak permasalahan dalam kasus tersebut sebuah mobil produk produsen Nissan March yang tak sesuai dengan iklan yang ada dengan jargon ‘city car’ dan ‘irit’-nya. Konsumen merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan. Berdasarkan iklan yang di pampang di media online, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Iklan tersebut ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi. Setelah satu bulan pemakaian, konsumen menemukan kenyataan mobil tersebut membutuhkan satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 km. Sebelum kasus itu terkuak, tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu, tetapi tiba-tiba iklan itu berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Sehingga dapat dikatakan ada unsur manipulasi. Akan tetapi kuasa hukum PT Nissan Motor Indonesia (NMI) menepis tudingan kuasa hukum konsumen tersebut. Menurutnya tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur dan tidak membohongi konsumen, ada datanya dan rujukannya. perubahan iklan tersebut mungkin asumsi merek, dan beranggapan iklan merupakan cara menggoda orang.


BAB V
PENUTUP

5.1  Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah di uraikan pada bab sebelumnya mengenai kasus iklan Nissan March, maka dapat diambil kesimpulan yaitu:
  • Iklan adalah suatu pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Kasus ini menunjukkan bahwa terkadang promosi iklan sangat tidak beretika bisnis. Sebagai pelaku usaha, dalam kasus ini etika berbisnis dalam penggunaan iklan guna memasarkan produknya masih kurang diperhatikan, yaitu ditemukannya beberapa bentuk pelanggaran dalam etika maupun estetika pada iklan tersebut. Pelanggaran etika yang mengarah pada ketidaknyataan pada produk dengan menipu konsumen merusak nilai dari sebuah iklan serta produk itu sendiri.


5.2  Saran

Semestinya para pembuat iklan memperhatikan Undang-Undang tentang konsumen, menyangkut iklan dan promosi. Tidak hanya melindungi produk iklan dari kesalahan hukum serta kode etik, tetapi juga memerhatikan konten iklan sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, diharapkan akan adanya keterbukaan antara produsen kepada konsumen sehingga mereka akan bisa saling nyaman satu sama lain.


DAFTAR PUSTAKA


Philip Kotler. 2008. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Erlangga.

Sonny Keraf. 2008. Etika Bisnis. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Freddy Purnama. 2014. Etika Bisnis: Etika Dalam Iklan. Dalam http://www.academia.edu/7853891/Etika_Dalam_Iklan_1. Diakses tanggal 30 Desember 2014.

Kharisma Yoga. Etika Periklanan. Dalam http://www.academia.edu/5348362/Etika_Periklanan. Diakses tanggal 30 Desember 2014.

Rofiq Hidayat. 2012. Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengadilan. Dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-         nissan-march-masuk-pengadilan. Diakses tanggal 30 Desember 2014.


www.repository.usu.ac.id diakses tanggal 30 Desember 2014.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS